Senin, 04 Januari 2016

COKROAMINOTO

Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah salah satu pahlawan nasional yang juga dijuluki sebagai De Ongekroonde van Java  atau Raja Jawa tanpa Mahkota oleh pemerintah kolonial Belanda. Beliau lahir di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus 1882. Ia merupakan keturunan dari Raden Mas Tjokroamisena, beliau anak ke-2 dari 12 orang bersaudara. Cokroaminoto mempunyai seorang istri bernama Suharsikin dan mempunyai 5 orang anak.
Suaranya mengguntur jika dia berbicara di depan massa pendengar dan penyokongnya. Ia akan muncul sebagai salah seorang yang membawa ide-ide untuk pembebasab bangsanya dari kungkungan penjajahan bangsa lainnya dari Belanda. Ide-idenya itu pun merambat keseantera kepulauan yang didiami oleh bangsanya, dari Sabang sampai Merauke. Ia disanjung oleh para pengikutnya sebagai seorang pembela mereka, tetapi juga akan dicaci oleh lawan-lawan nya dengan kata-kata pedas yang dapat memerahkan kuping. Namun, baik mereka yang menyangjung maupun mereka yang mencaci, tetapi mengakui dia sebagai salah seorang pemimpin yang memiliki keberanian yang pantas untuk dihormati.
Para penulis sejarah   bangsa mencatat namanya dengan tinta emas, karena itu namanya tidak akan pernah hilang untuk dikenang, bahkan untuk menghormati jasa-jasanya ia telah mendapat penghargaan sebagai salah seorang pahlawan Nasional. Penghargaan itu sangat besar bagi proses sejarah bangsanya. Sebagian besar dari usianya telah digunakan untuk memperjuangkan kebebasan bangsanya dari penjajahan bangsa lain yang telah berlangsung ratusan tahun.
Raden Mas Cokroaminoto memulai jenjang pendidikannya di OSVIA ( Opleiding School Voor Inlandsche Amblenaren ) Magelang. Cokroaminoto terkenal  karena kebandelannya. Watak kepemimpinan beliau telah nampak ketika itu, dia disegani oleh rekannya karena dia adalah anak dari seorang wedana.
Orang yang menduduki jabatan yang cukup tinggi dan terpandang tentulah disegani, tetapi Cokroaminoto tidak menghendaki pandangan yang demikian, karena sejak kecil ia telah memiliki kepercayaan diri dan tidak senang bersandar kepada wibawa orang lain, sekalipun itu ayahnya.
Karena kecerdasaan otaknya, pada usia 20 tahun ia berhasil menyelesaikan pelajarannya pada sekolah OSVIA di Magelang. Sekolah ini adalah tempat anak-anak bumi putra di didik untuk menjadi pegawai pamongpraja. Tampaknya beliau bisa memenuhi harapan orang tuannya untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi dibidang pemerintahan, sebagai pamongpraja.
Setamat dari OSVIA dia diangkat sebagai juru tulis patih Ngawi, namun ia hanya bekerja disana selama kurang lebih 3 tahun. Pada tahun 1905, ia pindah ke Surabaya dan bekerja pada sebuah perusahaan Belanda yang bernama Firma Cooy dan Co, karena ketertarikannya pada dunia jurnalistik, pada tahun 1907-1910 ia aktif sebagai wartawan, ia mendirikan surat kabar utusan Hindia, Fajar Asia, dan majalah Al Jihad.
Awal bulan Mei 1912, Cokroaminoto dikunjungi oleh anggota Sarekat Dagang Islam, dan melakukan beberapa perbincangan. Diantara perbincangan mereka berhasil “menggugah” Cokroaminoto untuk menerjunkan diri kedalam sarekat yang sedang mereka bina itu. Kepercayaan penuh pun diperoleh oleh Cokroaminoto, pada tanggal 10 September 1912, Serikat Dagang Islam ( SDI ) merubah menjadi partai politik Serikat Islam ( SI ). Cokroaminoto pun diangkat menjadi ketua partai politik baru tersebut. Kongres yang pertama diadakan pada tanggal 26 Januari 1913 di Surabaya, kongres kedua diadakan pada bulan Maret 1913, dan kongres ketiga berlangsung pada 17-24 Juni 1916 di Bandung.
Pada 1915, Cokroaminoto menjadi ketua Central SI di daerah-daerah. Sejak saat itu, ia terus berjuang mengukuhkan eksistensi SI. Beliau tampaknya bercita-cita agar bangsa Indonesia kelak memiliki pemerintahan sendiri dan terbebas dari belenggu kolonialisme penjajah. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia mengharapkan bisa melahirkan perundang-undangan, gagasannya itu dilontarkan ditengah-tengah kongres Nasional. Dan  Cokroaminoto juga menjadi anggota Volksraad mewakili Partai Serikat Islam pada tahun 1918. Cokroaminoto dipercaya untuk memangku jabatan ketua setelah sebelumnya menjabat sebagai komisaris SI. Di bawah kepemimpinannya, SI mengalami kemajuan pesat dan berkembang menjadi partai massa sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Namun sebelum menyaksikan bangsanya memproklamirkan kemerdekaannya, Cokroaminoto menutup usianya diumur 52 tahun pada tanggal 16 Desember 1934 di Surabaya dan ia berhasil mewariskan gagasan-gagasan besarnya kepada generasi muda setelahnya seperti Soekarno, Semaun, Musso, Alimin, Darsono, dan S.M. Kartosuwiryo.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
Untuk menghargai jasa-jasa beliau sebagai guru bangsa dan pahlawan, namanya diabadikan pada salah satu nama jalan di Makassar.



DAFTAR PUSTAKA
Gonggong, Anhar. (1985). Hos Tjokroaminoto. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pamungkas, Danto. (2014). Kamus Sejarah Lengkap. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo
Prasetya, Johan. (2014). Pahlawan-Pahlawan Bangsa Yang Terlupakan. Yogyakarta: Saufa

Swara, Puspa Tim. (2013). Pahlawan Indonesia. Jakarta: Puspa Swara

JENDRAL URIP SUMOHARJO

JENDRAL URIP SUMOHARJO
Sekitar  tahun  1890-an di kampong Sindurejan  tinngal seorang Kepala Sekolah Dasar Belanda . Namanya Soemoharjo. Pada masa itu Kepala Sekolah sering juga disebut Mantri Guru atau Mantri Besar.Bapak Sumoharjo adalah putri putra sulung dari Mbah Glondong Rayi, seorang alim yang tinggal di Banyu Urip.Desa kecil Banyu Urip terletak kurang lebih tujuh kilometer di sebelah selatan Purworejo.Di sekitar desa itu terdapat sawah yang luas.Istri Bapak Sumoharjo adalah Purti Raden Tumenggung Wijoyokusumo.Beliau adalah Bupati Trenggalek.Pada zaman Belanda, tidak semua orang bisa menjadi bupati. Seorang Bupati haruslah seorang
Bangsawan.Bupati itu sangat di hormati dan ditakuti oleh masyarakat, baik karena kedudukan maupun karena darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya.Jabatan bupati itu biasanya tutun-temurun. Bila seorang bupati meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya atau oleh anggota keluarga lain yang terdekat menurut pertalian darah.
Selain mempunyai kedudukan yang terhormat dan berkuasa di daerahynya, seorang Bupati adalah seorang yang cukup berada.Ia mendapat gaji dari pemerintah dan selain itu juga mempunyai tanah yang luas yang dapat digarap untuk penghidupannya.
Bapak Sumoharjo dan istri tinggal di sebuah rumah batu yang besar.Rumah itu mempunyai pekarangan yang luas.Di pekarangan itu banyak tumbuh pohon jambu, mangga, sawo, jeruk dan lain-lain.Kedua suami istri itu hidup dalam keadaan serba kecukupan. Bukankah Bapak Sumoharjo seorang Mantri guru dan bukankah istrinya putri seoarng bupati?.Dari segi ekonomi tad ada pula yang perlu mereka risaukan.Gaji Bapak Sumoharjo cukup besar.Lagi pula beliau adalah putra sulung dan ahli waris dari Mbah Glondong Rayi yang mempunyai sawah yang luas di Banyu Urip.Tidak dapat diketahui kapan suami istri itu menikah. Begitu pula, tidak dapat  diketahui nama dari  istri Bapak Sumoharjo. Yang terang ialah, pada tangal 22 Februari 1893 suami istri itu di karuniai Tuhan seoarang anak laki-laki. Tidak ada sesuatu yang istimewa pada bayi yang baru dilahirkan itu.Kulitnya hitam dan tubuhnya kecil.Ia sama dengan kebanyakan bayi laki-laki yang pernah dilahirkan di daerah Bagelen. Sekurang-kurangnya pada saat itu, orang tidak melihat keistimewaan yang kelak membedakannya dari bayi-bayi lain yang dilahirkan di daerah yang sama. Sebagai bayi yang pertama dalam keluarga Bapak Sumoharjo, tentu saja kelahirannya disambut dengan penuh rasa syukur dan gembira. Betapa tidak . Darah keluarga itu sudah ada yang akan mewarisi dan meneruskannya. Berita kelahiran itu di sampaikan ke Banyu Urip dan ke trenggalek.Kedua kakek itu pun gembira mendengarnya, terlebih-lebih lagi Mbah Glondong Rayi.Rayi itu adalah anak pertama dari putra sulungnya.Karena itu, baik di Banyu Urip maupun di Trenggalek diadakan selamatan untuk menyambut kelahiran bayi itu.
Maka mulailah kedua orang kakek itu memikirkan nama apa yang sebaiknya mereka berikan kepada cucu mereka. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, nama mempunyai pengaruh terhadap seseorang. Nama yang baik akan menyebabkan kelakuan orang yang memakannya baik pula. Sebaliknya nama yang buruk, akan menyebabkan orang yang memakainya berkelakuan buruk.  Yang paling banyak mencurahkan pikiran untuk mencari nama itu ialah  Mba Glondong Rayi. Sebagai seorang alim, beliau beranggapan bahwa, nama yang baik adalah nama yang terdapat dalam Al Qur’an, nama yang berjiwa agama. Tetapi dalam Al Qur’an terdapat banyak sekali nama yang baik. Mbah Glondong tidak dapat menentukan mana yang terbaik dan yang cocok untuk cucunya dari sekian banyaknya nama itu. Lama beliau berpikir, namun tidak berhasil memperoleh sesuatu keputusan. Sesudah itu beliau berpuasa dan bertirakat memohon petunjuk dari Tuhan . Mba Glondong mengirimkan berita kepada Bupati Wijojo kusuma tentang nama yang telah beliau peroleh itu dan sekaligus meminta persetujuan dari Bupati. Persetujuan itu beliau peroleh. Maka, setelah selesai acara puputan, diberikanlah dengan resmi nama Muhammad Sidik kepada anak sulung Bapak Sumoharjo. Baik di Purworejo  maupundi trenggalek diadakan lagi upacara dipanjatkan doa kepada Tuhan, meminta agar anak itu kelak dikaruniai umur panjang, diberi rejeki dan taat beribadat.
Ciri lain dari masyarakat Bagelan ialah leligus. Sebagian besar penduduk memeluk agama Islam. Di daerah ini, tepatnya di kota Purworejo, terdapat beduk terbesar di seluruh Indonesia. Garis tengah beduk itu panjangnya kurang lebih satu setengah meter.
Purworejo adalah sebuah kota kecil tempat kedudukan bupati. Dari segi militer, dalam Zaman Belanda, kota ini pun merupakan kedudukan militer. Di kota ini terdapat sebuah perkampungan militer yang terdiri dari orang-orang Negro. Pada masa ini, kota Purworejo masih juga memegang peranan dalam militer. Disini terdapat lembaga pendidikan dan Latihan militer yang disebut Battle Training Center.Dalam lembaga ini di didik dan dilatih calon tamtama dan bintara untuk seluruh pulau Jawa.Di samping itu terdapat pula kursus untuk bintara tinggi.Adanya lembaga pendidkan dan latihan militer itu dimungkinkan, sebab daerah sekitar purworejo berbukit-bukit sehingga cocok untuk latihan.
Penduduk di sekitar Purworejo umumnya hidup dari hasil pertanian.Padi merupakan hasil tanaman utama.Tetapi selain itu banyak pula penduduk yang mengusahakan perkebunan jeruk bahkan durian pun banyak terdapat.Dari hasil perkebunan jeruk itu ada penduduk yang sempat naik haji dan mereka oleh penduduk setempat disebut “Haji Jeruk”. Seperti kota-kota lainnya, kota Purworejo terdiri pula atas bagian-bagian yang secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan di sebut kota. Salah satu bagian dari kota Purworejo bernama kampung Sindurejan. Kampung itu terletak dibagian barat kota. Di kampung inilah dilahirkan tokoh yang riwayat hidupnya akan dikisahkan pada halaman-halaman berikut ini, karena riwayat hidup perjuangannya memang layak untuk diceritakan.
Dataran tinggi Bagelen yang indah terletak di bagian Selatan Propinsi Jawa Tengah. Daerah itu merupakan bagian dari daerah Kedu yang pernah diberi julukan: Taman Kebun Pulau Jawa. Julukan itu diberikan karena di daerah ini banyak terdapat kebun buah-buahan dan sayur-sayuran. Di daerah Bagelen Khususnya, dan di daerah Kedu umumnya, hidup dengan subur kisah-kisah tentang kepahlawanan Pangeran Diponegoro, bangsawan Yogyakarta yang mengangkat senjata melawan kekuasaan Kolonial Belanda Pada dekade ketiga abad ke-19. Daerah Bagelan pernah menjadi basis gerilya pasukan Diponegoro.Banyak kerugian yang dialami Belanda di daerah ini.Kisah-kisah kepahlawanan ini diceritakan dari mulut ke mulut oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya, oleh orang tua-tua kepada yang muda-muda.Akibat kisah-kisah lebih dari itu, kisah-kisah itu mempengaruhi watak dan sifat masyarakat Bagelen.Pada umumnya orang Bagelan dikenal sebagai orang yang berani.Dari sifat itulah berasal istilah “Daerah Bagelen”.Dalam jaman Belanda, banyak pemuda-pemuda Bagelen menjadi anggota tentara Belanda.Tidak mengherankan pula, bila dari daerah ini berasal beberapa orang tokoh militer, yang dalam sejarah perkembangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Pernah memainkan peranan tertentu dan utama.
A.    Masa Bersekolah
            Bapak Sumoharjo dan istrinya berharap, agar Oerip kelak menjadi pegawai negeri atau menjadi bupati menggantikan  kakeknya. Bupati Wijoyokusumo pun berharap demikian.Mereka sudah membayangkan Oerip dalam pakaian seragam bupati dan duduk di Kabupaten Trenggalek.Mereka cukup mengetahui, bahwa Oerip sangat nakal. Tetapi ia masih kanak-kanak, masih kecil. Sifat itu kelak tentu akan berubah. Semua juga menyadari, bahwa Oerip mempunyai pembawaan untuk menjadi seorang pemimpin. Sebagai anak-anak, ia telah menjadi pemimpin dari kawan-kawannya. Tentu kelak bakat itu akan berkembang dengan usianya. Mereka memastikan, Oerip akan menjadi seorang bupati yang berwibawa. Mba Glondong Rayi lain pula keingingannya. Orang tua itu, sesuai dengan lingkungan hidupnya, mengharapkan agar Oerip menjadi seorang alim, seorang taat beragama.Ia akan merasa bangga bila suatu kelak, dapat melihat Oerip menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kelak akan terbukti, bahwa tidak satu pun dari keinginan itu terkabul. Oerip tidak pernah menduduki jabatan bupati Trenggalek.Ia tak pernah memakai seragam bupati yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Ia pun tidak pernah sampai di Mekahdan memakai pakaian haji. Malahan kemudian ia menjadi seorang penganut agama Kristen. Untunglah pada waktu itu Mba Glondong tidak ada lagi, sudah lama meninggal dunia. Oerip telah  memilih jalan hidupnya sendiri, atau jalan hidup itui sesuatu dengan jiwanya. Ternyata darah Bagelen lebih banyak berbicara dan menghiasi dirinya.
            Mula-mula Oerip bersekolah di Sekolah Jawa.Murid-murid duduk pada sehelai tikar pada meja-meja kecil yang rendah.Sebenarnya Bapak Sumoharjo dapat saja memasukkan Oerip ke sekolah yang dipimpinnya.Tetapi dengan memasukkannya ke Sekolah Jawa, Ia ingin agar kenakalan Oerip dapat agar berkurang.Sesudah itu barulah Oerip dimasukkan ke Sekolah Dasar Belanda. Sekolah itu dipilih, supaya ia dapat  lancer berbahasa Belanda, sebab ia diharapkan akan menjadi bupati pada waktu. Waktu Oerip akan di masukkan ke sekolah itu, timbullah persoalan baru. Ternyata sekolah untuk anak laki-laki penuh.Tetapi di sekolah anak-anak perempuan masih ada lowongan. Bapak Sumoharjo sebenarnya bermaksud memasukkan Oerip tahun berikutnya, sebab ia sekelas dengan anak-anak perempuan. Anjuran itu diterima oleh Bapak Sumoharjo dan dengan demikian Oerip pun dimasukkan ke sekolah tersebut.Ia terpaksa duduk di tengah-tengah anak-anak perempuan. Alangkah canggungnya Oerip dalam keadaan seperti itu.Apa yang diharapkan oleh orang tuanya, untuk sebagian memang terkabul. Oerip menjadi anak yang tenang, tetapi hanya selama ia berada di kelas. Pulang Sekolah, Ia tetap Oerip kembali.Untunglah bersekolah bersama-sama anak-anak perempuan itu hanya berlangsung selama satu tahun. Pada htahun ajaran baru ia sudah berhasil masuk ke sekolah anak laki-laki. Berbeda denagn di Sekolah Jawa, di Sekolah Dasar Belanda ini Oerip betul-betul merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang murid.Ia harus bangun pagi-pagi, lalu bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Pekerjaan itu sangat membosankan baginya. Karena itu kadang-kadang ia berbuat pura-pura sakit, agar di bolehkan tinggal di rumah. Tetapi ibunya lebih cerdik dari padanya, dan hamper setiap pagi ibu itu sedia dengan sapu lidi yang siap untuk di pukulkan ke tubuh Oerip. Dengan gertakan itu, ia berhasil memaksa Oerip pagi ke Sekolah.Maka dengan rasa enggan berangkatlah Oerip ke Sekolah, yang baginya merupakan neraka. Ia yang paling terakhir masuk ke kelas. Tetapi bila lonceng berbunyi tanda pelajaran pelajaran selesai, Ia pulalah yang paling dulu berlari ke luar kelas.
            Pulang sekolah Oerip seringkali mengeluh dan kelihatan letih.Dengan lemah lembut. Ibunya mencoba membesarkan semangatnya dan mendorongnya agar rajin belajar, agar ia menjadi orang yang pandai, sehingga terpakai dalam masyarakat. Kepada Oerip diperlihatkan barang-barang milik ayahnya yang menunjukkan identitasnya sebagai pegawai.Kadang-kadang ibu itu menceritakan betapa senangnya menjadi seorang bupati.Bukankah buoati itu dihormati orang?Dengan sabar dan penuh rasa keibua, ibu itu berusaha dan selalu menuntun Oerip.Semua cerita itu didengarkan Oerip hanya sekedar untuk menyenangkan hati ibunya.Ia berbuat seolah-olah tertarik, tetapi jauh di lubuk hatinya ia menyangkal semuanya. Oerip lebih tertarik kepada perbuatan yang memperlihatkan keberanian, perbuatan yang dapat menarikperhatian orang banyak.Alangkah senangnya duduk di punggung kerbau besar menghalang-halangi lalu lintas di jalan raya.Alangkah enaknya berenang di bagian sungai yang dalam dan berjuang menghindari pusaran air.Alangkah senangnya bermain hantu-hantuan di waktu malam sambil menakut-nakuti orang-orang dewasa yang pulang dari masjid.Apa perlunya memikirkan menjadi bupati. Di kelas Oerip tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada pelajaran. Badannya secara nyata ada dalam kelas, di tengah-tengah anak-anak yang lain, di depan gurunya, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain. Karena itu ia tidak termasuk anak yang pandai. Angka-angka rapornya banyak yang merah. Namun ia masih beruntung dapat naik kelas setiap tahun. Ia mendapat pujian dari orang tuanya dan dari kakeknya, Bupati Wijoyokusumo, sekalipun mereka sangat cemas melihat kepandaian Oerip yang tertera dalam rapornya. Mereka mulai bimbang, akan mampukah Oerip menjadi seorang bupati, Namun perasaan itu tidak mereka perlihatkan. Mereka masih menggantungkan harapan bahwa suatu masa kelak akan terjadi suatu perubahan. Dan perubahan itu memang terjadi, tetapi tidak sesuai denagn apa yang mereka harapkan. Bahkan sebaliknya, perubahan yang terjadi itu menumbangkan semua harapan mereka.
            Sementara itu ibu Oerip mulai sakit-sakitan.Beberapa orang dokter yang cukup terkenal dan beberapa orang dukun tidak berhasil menyembuhkan penyakitnya. Dalam masa itu pula Oerip menempuh ujian Klein Ambtenaars Examen ( ujian pegawai rendah) . Ia mengikuti ujian itu bersama dengan orang-orang dewasa, malahan ada yang sudah agak lanjut usianya. Orang-orang itu menempuh ujian untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi dari pada jurutulis.Oerip lulus.Berita itu sangat menggembirakan hati ibunya.Di mata wanita itu terbang Oerip dalam seragam bupati. Tetapi akan sempatkah ia melihat Oerip dalam keadaan seperti yang dibayangkan?. Setelah di nyatakan lulus dari ujian itu, Oerip pun bersiap-siap untuk memasuki pendidikan di sekolah nagi pegawai bumi-putra yang ketika itu disebut Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Sekolah itu terletak di Magelang.Dengan demikian untuk pertama kalinya Oerip berpisah dengan orang tua dan adik-adiknya, denagn kawan-kawan dan dengan segala permainannya.Oerip meninggalkan tempat-tempat yang banyak menimbulkan kenang-kenangan pada masa kanak-kanaknya.
            OSVIA adalah lembaga pendidikan khusus bagi anak-anak priyayi yang kelak akan dijadikan pegawai pangreh praja. Murid-murid di didik dalam suasana priyayi.Disiplin yang diterapkan di sekolah ini sangat ketat.Murid-murid diajar agar mematuhi setiap peraturan.Mereka harus bisa menempatkan dirinya sebagai seorang calon pegawai. Kelakuan mereka harus baik, sebab mereka kelak akan menjadi contoh dan teladan. Seorang pegawai negeri tidak boleh berkelakuan tidak sopan.Banyak peraturan yang harus dipatuhi.Pakaian pun ditentukan. Orang tua Oerip haruskan mengeluarkan biaya khusus, misalnya untuk membeli jas hitam yang akan di pakai dalam acara-acara tertentu. Sebelum berangkat ke Magelang Oerip berlatih melipat ikat kepala. Lama ia berlatih sebelum bisa memasang ikat kepala dengan cara yang baik. Ia juga harus berlatih bagaimana cara memasang kain yang memakai wiron di abgian depannya. Hal ini terasa sangat berat bagi anak yang selama ini biasanya hanya memakai celana pendek. Di OSVIA, Oerip memperoleh sebuah kamar berukuran tiga kali empat meter, seperti juga siswa-siswa lainnya. Di dalam kamar itu tersedia sebuah lemari, sebuah meja kursi, sebuah lampu minyak, sebuah gantungan pakaian dan sebuah dipan.Kacungnya dari Purworejo ikut serta bersamanya ke Magelang untuk mengurus cucian, mengabilkan makanan rantang, dan membenahi kamarnya.Pelajar-pelajar OSVIA tidak memakai sepatu.Semuanya bertelanjang kaki.Hal itu lazim pada masa itu. Dengan cara demikianlah seorang calon pegawai di didik, dan mereka harus belajar dengan sungguh-sungguh. Walaupun murid-murid OSVIA dididik untuk menjadi pegawai pemerintah, tetapi pandangan orang Belanda terhadap mereka tetap rendah. Mereka disamakan dengan seorang magang kecil pada sebuah kantor. Mereka tetap dianggap sebagai “Inlander”.Hal itu menyebabkan timbulnya rasa tidak senang di kalangan murid-murid.Reaksi dari murid-murid OSVIA adalah, malam hari setelah permohonan ditolak, merka mundar-mandir di serambi memamaki bakyak.Tentulah saja itu menimbulkan suara yang bising.Guru yang bertugas jaga yang pada malam itu melaporkan tingkah laku murid-murid kepada kepala sekolah.Mereka segera diperintahkan kembali ke kamar masing-masing. Tiga jam kemudian mereka dipanggil untukmenerima hukuman. Murid yang memberontak itu memperoleh tahanan kamar salama tiga hari dan mendengarkan pidato dari kepala sekolah, van lokeren, yang sekali lagi menegaskan apa-apa yang boleh dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan oleh para murid.
B.     PENDIDIKAN MILITER DAN TUGAS-TUGAS DALAM KNIL
Benih-benih untuk menjadi tentara itu sudah tertanam ketika Oerip masih di Purwerojo.Benih itu kemudian tumbuh dengan subur ketika dia berada di magelang. Darah bagelen itu terlihat dalam tingkah laku oerip sewaktu masih kanak-kanak, ketika ia dengan berani menggiring kawanan kerbau di jalan raya, ketika ia melindungi meraka dari ancaman anak-anak yang lain, atau ketika ia mengerahkan kawan-kawannya mengepung perkampungan militer negro.Semula, semuanya itu belum mempunyai bentuk yang pasti. Orang melihatnya hanya sebagai kebiasaan anak-anak. Bentuk itu baru diperoleh oerip ketika ia sudah duduk di kelas terakhir sekolah dasar belanda dan semakin dipertegas di magelang ketika ia bosan belajar dan mulai berkenalan dengan beberapa anggota militer kota itu.
Waktu masih belajar di sekolah dasar dasar belanda, oerip menjadi anggota organisasin yang diberi namaTot Ons Plezier (untuk kesenangan kita) disingkat TOP. Organisasi itu dibentuk oleh Ostreig dibantu oleh sarwi dan Iso.Ostreig adalah anak dari seorang pensiunan tentara. Pensiunan tentara inilah yang diangkat sebagai pelindung organisasi dan seringkali ia mengeluarkan biaya ringan utnuk kegiatan organisasi. Oerip sangat tertarik dengan kegiatan yang dengan demekian ia mengikutinya dengan sungguh-sungguh dan dengan perhatian yang mendalam, Kadang-kadang berjam-jam oerip menghabiskan untuk mendengarkan cerita yang demekian.  Di magelang, oerip mempunyai seorang teman bintara belanda yang memberikan perjaran senam dan main anggar, dari bintara ini diperolehnya pula cerita-cerita mengenai kehidupan seorang militer.
Demekianlah, cerita-cerita tentang perang, tentang kehidupan militer itu semakin lama semakin mempengaruhi jiwa oerip.Ia menemukan sesuatu yang selama ini di carinya, darah bagelan semakin kuat mengalir dalam dirinya. Akhirnya bapak sumoharjo menjanjikan sekiranya oerip betul-betul telah menjadi perwira yang disamakan derajatnya dengan perwira eropa. Sehabis masa cuti, oerip kembali ke jati Negara satu setengah tahun lamanya ia bertugas di tempat itu sebagai komandan seksi. Anak buahnya semuanya orang-orang belanda, kulit mereka putih dan tubuh mereka lebih besar dari tubuh oerip.Pada suatu hari oerip memimpin pasukannya menuju lapangan tembak di sunter, mereka berjalan sambil bersiul.Jakarta pada masa itu bukanlah Jakarta masa sekarang, kendaraan masih sedikit. Rumah-rumah dan jalan-jalanpu masih sedikit  daerah sunter termasuk daerah di luar kota.
            Berkiprah di dunia militer sebenarnya bukan cita-cita urip sumorhajo kecil.Beliau ingin menjadi pegawai pemerintahan sehingga bersekolah di OSVIA, magelang.Namun, saat menjalani pendidikan, timbul dorongan untuk menjadi tentara.Beliau memutuskan keluar dari OSVIA kemudian masuk sekolah militer belanda di Jakarta. Pada 1913, ia lulus dengan nilai terbaik dan menyandang status sebagai perwira teladan.
            Urip kemudian berdinas do KNIL (tentara hindia belanda) dengan pangkat letnan. Banyak putra Indonesia lainnya yang bergabung di KNIL, termasuk A.H.Nasution, Gatot subroto, dan T.B. Simatupang.Bekal pendidikan militer ini sangat bermanfaat dalam perjuangan merebut kemerdekaan.Urip merupakan satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor dalam KNIL.Meski demekian, beliau dengan berani menetang diskriminasi yang dilakukan belanda.Pada tahun 1942, semua tentara belanda ditawan jepang, termasuk urip sumorhojo.Setelah dibebaskan jepang, jepang menawarkan jabatan sebagai komandan polisi, tetapi beliau menolak.Memasuki zaman kemerdekaan, urip sumorharjo mengusulkan agar pemerintah segera membentuk tentara.Tentara keamanan rakyat (TKR) di bentuk pada 5 oktober 1945. Urip kemudian mengumpulkan bekas KNIL lainnya untuk mengeluarkan peryataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL. Pernyataan itu ditandatangani 13 orang.
            Pada 15 oktober 1945, urip sumorharjo diangkat menjadi kepala staf umum TKR dengan pangkat letnan jenderal.Sebagai pemimpin tertinggi TKR, beliau berupaya menyempurnakan organisasi tentara hingga kelak TKR berkembang menjadi tentara nasional Indonesia (TNI).Pada 1948, urip sumoharjo mengundurkan diri dari jabatan sebagai kepala staf umum TKR karena tidak setuju dengan perjanjian renville yang dianggapnya banyak merugikan Indonesia. Namun, ia lalu diangkat sebagai penasehat militer presiden sukarno. Urip sumaharjo wafat pada 17 November 1948 dan dimakamkan di taman makam pahlawan semaki, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

            Imrhan, Amrin. 1980. Urip Sumohardjo

ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE

ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE (1918 – 1947)


      Pahlawan selalu identik dengan jasa-jasa atau pengorbanan-pengorbanan dalam mempertahankan kemerdekaan negaranya dari para penjajah yang datang di tanah airnya. Sama seperti sosok pahlawan yang satu ini. Beliau merupakan salah satu dari sekian banyak pahlawan yang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Beliau adalah Andi Abdullah Bau Massepe. Mungkin banyak yang masih asing dengan nama tersebut, namun beliau mempunyai jasa yang sangat besar dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia terkhusus di Sulawesi Selatan. 
A. Abdullah Bau Massepe merupakan sosok yang bermasyarakat. Beliau tidak membeda-bedakan dirinya dengan para rakyatnya. Beliau tidak segan-segan bergaul dengan rakyatnya. Beliau juga merupakan sosok yang mempunyai sifat kepemimpinan yang tinggi, sifat tersebut dalam dilihat dari beberapa perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia khususnya di daerah Sulawesi Selatan.
A. Abdullah Bau Massepe lahir di Massepe, Sulawesi Selatan pada tahun 1918. Beliau merupakan keturunan bangsawan pada masanya. Beliau merupakan putera dari  seorang Raja di Kerajaan Bone yaitu Andi Mappanyukki, iparnya adalah Raja Luwu yaitu Andi Djemma, serta kakaknya adalah Mantan Gubernur yaitu Andi Pangerang Petta Rani. Pada tahun 1931, setelah menammatkan pendidikan di Inlandsche School, beliau bekerja di kantor Kewedanan di Pinrang. Pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya sebagai Datu (raja) Suppa. Jabatan sebagai Datu Suppa dengan gelar Sucoo dipegangnya sampai berakhirnya masa pendudukan Jepang.
Pada tahun 1945, di Makassar, didirikan organisasi Sumber Darah Rakyat (SUDARA). Organisasi Sudara dipimpin oleh Dr. G.S.S.Y. Ratulangi. Ayahnya, Andi Mappanyukki menjabat sebagai penasehat. A. Abdullah Bau Massepe menyambut berdirinya organisasi itu dengan mendirikan cabang Sudara di Pare-pare.
Pada permulaan proklamasi 17 Agustus 1945, Bau Massepe ditempatkan di daerah Pare-pare sebagaiKepala Afdeling dari Republik Indonesia dan menjadikan payung tempat bernaung jiwa revolusi dari angkatan muda daerah itu.
Pada masa kemerdekaan, A. Abdullah Bau Massepe mendirikan Penunjang Republik Indonesia (PRI) dan menyatakan Pare-pare sebagai bagian dari Republik Indonesia. PRI kemudian berubah nama menjadi Badan Penunjang  Republik Indonesia (BPRI), kemudian menjadi Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).
Mempertahankan kemerdekaan negara bukanlah hal yang mudah. Butuh kerja keras, usaha, dan jiwa kebangsaan, begitu pula dengan Andi Abdullah Bau Massepe. Periode mempertahankan kemerdekaan ini belangsung pada tahun 1945-1949. Beliau menerima berita proklamasi pada tanggal 19 Agustus 1945 dan kabar datangnya bangsa Belanda melalui radio miliknya. Dari kabar yang didengarnya, kemudian Bau Massepe mengajak beberapa para tokoh republiken untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa Belanda. Salah satu usaha Bau Massepe dalam melakukan perlawanan tersebut yaitu dengan memerintahkan beberapa orang yang telah berpengalaman dalam perang Dunia II untuk melatih para pemuda menggunakan senjata api dan taktik dalam berperang.
Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa A. Abdullah Bau Massepe merupakan sosok yang mempunyai sifat kepemimpinan yang tinggi, ini terbukti saat kondisi kritis melanda daerah Sulawesi Selatan dalam mempertahankan kemerdekaan dan perlawanan terhadap bangsa Belanda. Salah satu kondisi kritis yang dimaksud adalah adanya pencarian para tokoh pejuang kemerdekaan yang dilakukan oleh bangsa Belanda dengan menggunakan orang-orang tertentu yang dalam artian mata-mata bangsa Belanda atau pajello. Karena hal tersebut banyak tokoh pejuang yang terpaksa meninggalkan Sulawesi Selatan kemudian ke Jawa, hal tersebut bukan karena para tokoh pejuang ingin meninggalkan Sulawesi Selatan begitu saja dalam kondisi sulit, namun mereka pergi karena ingin mencari tempat persembunyian yang aman dan tidak diketahui oleh bangsa Belanda, serta perginya para tokoh pejuang tersebut juga merupakan strategi perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang, dan nantinya mereka akan kembali lagi ke daerah Sulawesi Selatan.
Perginya beberapa tokoh pejuang ke pulau Jawa tidak lepas dari peran A. Abdullah Bau Massepe. Kesemuanya adalah perintah dari Bau Massepe. Namun, saat para tokoh pejuang memilih mengikuti perintah Bau Massepe ada hal yang dipertanyakan oleh banyak orang, yaitu mengapa beliau (Bau Massepe) tidak ikut pergi ke pulau Jawa bersama beberapa tokoh pejuang lainnya? Jawaban yang didapatkan dari berbagai sumber sangat berkesan. Ketidakpergiaan Bau Massepe ke pulau Jawa memang merupakan keinginannya sendiri. Menurut Letkol. Andi Selle, alasan yang dikemukakan oleh Bau Massepe ialah “kalau ia meninggalkan Sulawesi Selatan, khususnya daerah Ajatappareng, maka perjuangan akan mengalami kesulitan, karena tidak ada pemimpin yang akan menjadi “pegangan” kepemimpinan”.
Pada tanggal 20 Januari 1947 diadakan pertemuan konsolidasi dan persiapan pembentukan TRI yang dilaksanakan di paccekke, pertemuan ini biasa dikenal dengan Konferensi Paccekke. Hasil dari konferensi tersebut yaitu menyepakati untuk mengangkat A. Abdullah Bau Massepe sebagai komandan Divisi TRI di Sulawesi Selatan – Tenggara. Namun, pada saat pengangkatannya sebagai komandan Divisi TRI di Sulawesi Selatan – Tenggara, beliau berhalangan hadir. Banyak spekulasi menyatakan bahwa, tidak hadirnya beliau pada saat pengangkatan tersebut karena di saat yang bersamaan A. Andi Abdullah Bau Massepe telah ditembak mati oleh Westerling dan pasukan-pasukannya. A. Abdullah Bau Massepe memang merupakan salah satu pemimpin Gerilya Republik yang berhasil ditembak oleh Westerling dengan pasukan-pasukannya. 
Pada tanggal 17 Oktober 1946, A. Abdullah Bau Massepe ditangkap oleh Belanda jam 13.00 dan kemudian beliau dibawa ke Makassar untuk diadakan pemeriksaan. Kemudian pada tanggal 15 Januari 1947, A. Abdullah Bau Massepe dibawa ke Pinrang untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dan ternyata disana telah dikumpulkan para pejuang-pejuang kemerdekaan pada ssat itu untuk ditembak mati.
Pada awal Februari 1947 terjadi pembantaian di Kampong Kariango Pinrang terhadap para pejuang, dan pada waktu yang sama terjadi pula pembantaian Westerling di Kota Pare-pare di stasion oto yang lama dengan para pejuang lainnya. Salah satu pejuang yang ditembak mati oleh Westerling dan pasukannya di kota Pare-pare pada tanggal 2 Februari 1947 adalah A. Abdullah Bau Massepe.
Setelah peristiwa penembakan itu tidak ada yang tahu dimana keberadaan jenazah dari A. Abdullah Bau Massepe tersebut. Karena memang pembunuhan tersebut diusahakan oleh Westerling untuk tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Namun, karena kesetiaan rakyat terhadap Datunya, ada seseorang warga yang melihat jenazah beliau dikuburkan setelah ditembak mati. Karena hal itu jenazah A. Abdullah Bau Massepe dapat ditemukan.
Dengan penuh kehormatan pada 19 Agustus 1950, makam A. Abdullah Bau Massepe digali kemudian di pindahkan dan dimakamkan di Taman Bahagia, Cappagalung 4 Km dari Kota Pare-pare yang merupakan Taman Makam Pahlawan di Pare-pare.
Tahun 1959 tanggal 12 Agsutus 1959 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 175 Tahun 1959, memutuskan menetapkan Penganugrahan Bintang Gerilya secara anumerta kepada A. Abdullah Bau Massepe pangkat Bupati dengan jabatan Eks Kepala Daerah Kabupaten Pare-pare.
Tahun 2005 tanggal 7 Nopember 2005 Presiden Republik Indonesia menganugrahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana kepada A. Abdullah Bau Massepe pangkat- dengan jabatan Tokoh Pejuang dari Sulawesi Selatan dengan Keputusan Presiden No. 082 Tahun 2005. Dan pada waktu yang bersamaan Presiden Republik Indonesia menganugrahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada A. Abdullah Bau Massepe berdasarkan SK No. 082/TK/2005 tanggal 7 Nopember 2005.
Semasa hidupnya, Andi Abdullah Bau Massepe memiliki tiga orang istri, pertama, Andi Maccaya yang melahirkan seorang puteri bernama Andi Habibah , kedua, Puang Linge Daeng Singara melahirkan seorang putera bernama Andi Baso Ibrahim dan seorang puteri bernama Bau Tenne, ketiga, pada tahun 1933 beliau menikah lagi dengan Andi Soji Datu/Petta Kanjenne yang melahirkan 4 orang anak bernama : Bau Kuneng, Bau Ammessangeng, Bau Dalauleng dan Bau Fatimah.
Pemerintah Sulawesi Selatan juga memberikan penghargaan dan penghormatan atas jasa dan pengorbanan kepada A. Abdullah Bau Massepe sebagai tokoh pejuang dari Sulawesi Selatan dengan menggunakan nama beliau untuk dijadikan nama sebuah jalan di Ibukota Sulawesi Selatan (Makassar).
Pemberian nama jalan dengan menggunakan nama A. Abdullah Bau Massepe merupakan suatu bentuk apresiasi serta penghormatan pemerintah Sulawesi Selatan terhadap beliau dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia khususnya di daerah Sulawesi Selatan.
Jalan Bau Massepe ini terletak tidak jauh dari ikon Kota Makassar yaitu Pantai Losari. Jalan ini terletak di sekitar beberapa jalan yang menggunakan nama tokoh pejuang Sulawesi Selatan lainnya, contohnya Jl. Ranggong Dg. Romo
Untuk sampai ke jalan Bau Massepe tersebut, kita dapat menggunakan transportasi umum, seperti taksi dan bentor, namun jalan ini lebih mudah dijangkau jika menggunakan transportasi pribadi baik motor atau mobil.
Satu hal yang bisa kita petik dari cerita perjuangan A. Abdullah Bau Massepe ini adalah jika ingin disukai, dicintai oleh rakyat, maka pemimpin harus lebih dulu cinta kepada rakyatnya. Sama halnya dengan A. Abdullah Bau Massepe yang mempunyai sifat kepemimpinan yang tinggi,  yang lebih mementingkan rakyat dibandingkan dirinya sendiri, yang tidak membeda-bedakan dirinya dengan rakyat, dan yang rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan negaranya yaitu Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Amir,Muhammad , Arfah,Muhammad , Arifah ,St , Kila,Syahrir , Faisal , Rahim,Abdul . 2008 . Pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan . Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan : Makassar
Gonggong, Anhar. 2009.  Sulesana : Jurnal Sejarah Sulawesi Selatan, Tenggara dan Barat. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata : Baali Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar : Makassar
Rizal,Hanabi. Tika, Zainuddin. Syam, M.Ridwan. 2007. Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan 1. Penerbit Refleksi : Makassar.

Tim Redaksi Pustaka Timur. 2009. Profil 143 Pahlawan Indonesia. Pustaka Timur : Yogyakarta

DATUK PATIMANG

DATUK PATIMANG
Datuk Patimang (Lahir Abad 16) yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa itu.
Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri Bandang yang ahli fikih di Kerajaan Gowa dan Tallo sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba.
Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota Palopo, Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).
Seperti umumnya budaya dan tradisi masyarakat nusantara pada masa itu, masyarakat Luwu juga masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang banyak diwarnai hal-hal mistik dan menyembah dewa-dewa. Namun dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu' La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikansumberhukumbagikerajaan.
Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.

Sementara itu Datuk ri Bandang pergi dari kerajaan Luwu menuju wilayah lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, lalu dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya wafat di wilayah Tallo. Sedangkan Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro yang kemudian berhasil mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.

Ir. H. Juanda

Ir. H. Juanda
Ir.R. Djoeanda Kartawidjaja atau lebih dikenal dengan nama Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS).
Sejak kecil Djuanda mempunyai sifat pendiam, tetapi cerdas. kedudukan ayahnya sebagai guru HIS membuka jalan bagi Djuanda untuk memasuki Sekolah Dasar Belanda Europeesche Lagere School di Cicalengka. Kecerdasan Djuanda dibuktikan ketika ia dinaikkan dua kelas, dari kelas V langsung ke kelas VII. Djuanda memang seorang yang rajin, tekun, cerdas, teliti dan cermat. Ia suka sekali membaca buku.
Pada tahun 1924, Djuanda sudah tamat ELS dan meneruskan ke HBS ( Hogere Burger School) di Bandung. Kebanyakan murid HBS adalah anak Belanda, tetapi Djuanda tetap menjadi anak yang pandai, terutama pada mata pelajaran ilmu pasti dan ilmu alam. Selama tiga tahun di HBS, yaitu dari kelas I hingga kelas II, Djuanda pulang pergi ke sekolah dengan menggunakan kereta api. Ia harus berangkat di waktu subuh dan pulang sesudah Asar. Pada kelas IV Juanda mulai tinggal di Bandung, masuk asrama supaya lebih mahir dalam berbahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis. Karena kepandaiannya, maka Djuanda dapat lulus ujian penghabisan HBS pada tahun 1929 dengan nilai yang amat bagus dan lulus dengan gemilang (schitterend geslaagd). Dengan nilai sebagus itu Juanda langsung diterima sebagai mahasiswa pada Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan memperoleh beasiswa.
Sejak muda Djuanda memang amat gemar membaca, karena itu sejak muda pula ia sudah memakai kacamata. Ia pun menyukai olah raga, terutama berenang dan polo air. Sebagai pencinta alam ia sering mendaki gunung dengan menyandang sebuah alat pemotret merek Rolefex. Djuanda memasuki Fakultas Ilmu Teknologi yang mempelajari tehnik pengairan dan jalan (Wegen en Waterbouwkunde). Angkatannya sebanyak 39 orang mahasiswa tediri dari 18 mahasiswa Indonesia, 2 keturunan Cina dan 19 orang Belanda. Djuanda senantiasa belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak banyak membuang-buang waktu. Ia hanya kadang-kadang menonton bioskop dikelas kambing.
Sebagai mahasiswa, ia memasuki organisasi Indonesische Studenten Vereeninging (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia) Perkumpulan yang bersifat kebarat-baratan. Pada mulanya Djuanda memang belum tertarik pada perjuangan politik, walaupun ia sudah setia membaca mingguan berkala Sipatahunan yang bahasa Sunda dengan artikel-artikel yang bercorak kebangsaan. Makin lama makin tertarik pada kehidupan kemasyarakatan dan politik, lebih-lebih berkali-kali mendengar ceramah Ir. Sukarno di Bandung. Akhirnya Menjadi Ketua dari Perhimpunan Mahasiswa Indonesia pada tahun ke-3 dengan Gunarso sebagai sekretaris.  Pada tahun 1933 Djuanda lulus dari THS dan sesudah tamat dari THS, Djuanda menikah dengan gadis Julia Virzsia, seorang guru muda Taman Kanak-Kanak yang berada dibawah ayahnya.
Djuanda diangkat sebagai guru pada SMA (Algemene Middbare School) dan Sekolah Guru (Kweekschool) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Jakarta. Setahun kemudian Djuanda bahkan menjadi Direktur SMA Muhammadiyah, padahal ia baru berumur 23 tahun. Djuanda dipandang sebagai seorang pemimpin yang bersikap tenang, ramah, tidak mudah marah dan selalu seimbang jiwanya. Siswa-siswanya memandang Pak Djuanda sebagai seorang Direktur yang lemah-lembut, simpatik dan disegani. Direktur ini selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan para siswanya sehingga tidak kalah dari mutu sekolah SMA Pemerintah Belanda. Ir. Juanda juga menerjuni politik dalam Budi Utomo.
Ia menyokong Taman Siswa di Pasundan dalam menentang wilde Scholen Ordonnantie atau undang-undang sekolah liar. Djuanda menjadi Direktur SMA Muhammadiyah
selama lima tahun.
Pada tahun 1936 ia diterima sebagai insinyur Pada Jabatan Pengairan Propinsi Jawa Barat termasuk Departemen Pekerjaan Umum itu Jakarta. Selanjutnya Jawatan tersebut pindah ke Bandung berpusat di Gedung waktu pasukan Jepang memasuki Indonesia. Di zaman Jepang ia bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan pada zaman itu, ia hanya bertugas merencanakan pembangunan jembatan sungai Citarum di Kec.Junggede yang telah dibumi hanguskan oleh Bclanda. Jembatan tersebut dari konstruksi kayu dan mempunyai daya dukung truk berukuran 5 ton. Sehingga tahun 1958 jembatan tersebut masih berfungsi.
Perhatian Ir. Djuanda terhadap pada soal-soal kemasyarakatan bangsanya makin meningkat. la lebih condong pada aliran evolusioner yaitu maju berkembang setapak demi setapak, dengan pasti dan mantap. Pada tahun 1934, selagi ia menjabat Direktur SMA (AMS) Muhammadiyah atas pengarahan Otto Iskandardinata, ia memasuki Paguyuban Pasundan. Pada waktu itu gerakan Paguyuban Pasundan sudah meluas, mempunyai 52 cabang dengan 3217 angota, ditambah anak organisasinya seperti Pasundan Istri, Patvinders Organisatie Pasundan (Kepanduan). Yayasan Obor Pasundan (JOP) dengan sekolah-sekolah Pasundan yang bertebaran di pelosok Jawa Barat, Bale Ekonomi Pasundan dan sebagainya. Masuknya Ir. Djuanda ke Paguyuban Pasundan, merupakan sumbangan yang besar, karena Djuanda merupakan cendekiawan yang alim, cerdas, berbudi luhur dan terkenal. Ir. Djuanda seringkali mengemukakan pendapatnya yang bersifat membangun. Antara lain ia pernah berkata, “Suatu tindakan yang bijaksana, bahwa pemerintah memberikan jabatan pimpinan kepada akademis Indonesia. Bahwa Pasundan mempunyai perhatian besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran bagi bangsa Indonesia, dapatlah diketahui dari tujuan yang dicita-cita oleh pendirinya, yaitu : Mengangkat bahasa Indonesia kesuatu tingkat politik, ekonomi dan sosial yang lebih tinggi agar menjadi suatu bangsa yang terhormat diantara bangsa-bangsa yang telah dewasa dan merdeka”. Ir. Djuanda yakin, bahwa tujuan akhir perjuangan bangsa Indonesia ialah Kemerdekaan. Dengan sengaja ia mengemukakan pendapat Gijsbert Karel Van Hoogendorp, seorang pejuang kemerdekaan bangsa Belanda yang berkata, “Usaha untuk mengembangkan tanah jajahan, ya, saya mengakuinya, adalah usaha untuk mengembangkan detik kemerdekaannya “ Ir. Djuanda sendiri berkata. “Sebagian lagi dapat diterangkan dari kenyataan bahwa dalam seperempat abad ini Pasundan telah melaksanakan garis-garis kebijaksanannya dan hal itu selalu memperkuat keyakinan kita, bahwa masyarakat Indonesia yang berkembang secara perlahan-lahan lebih memberi jaminan akan tercapainya hasil yang nyata dan tetap.”
Mengenai ekonomi Ir. Djuanda mengatakan, “Susunan masyarakat disini membatasi daya serap terhadap para akademisi. Ini sangat terasa didalam lingkungan masyarakat Indonesia sendiri. Scsuatu golongan menengah yang berdiri sendiri, sebagai suatu syarat utama bagi perkembangan perusahaan yang sehat dan yang bisa menumbuhkan dan mengasuh perindustrian dan tehnik, tidak ada sama sekali. Kesempatan untuk menduduki suatu jabatan yang bertanggungjawab didalam perusahaan swasta di kemudian hari, sangat terbatas bagi para akademis Indonesia berlainan sekali dengan koleganya di lain negara.
Setelah Indonesia merdeka Ir. Djuanda memperoleh kepercayaan Presiden dan kembali duduk dalam kabinet sehingga disebut “Menteri Marathon” dalam 17 kabinet dalam tahun 1945. la duduk sebagai Menteri Muda satu kali, dan empat belas kali menjadi Menteri serta tiga kali menjadi Menteri Pertama.Ir. Djuanda memulai kariernya sebagai menteri muda dalam Kabinet Sjzhrir II, tahun 1946.
Kegiatan Ir. Juanda pada masa awal berdirinya Republik Indonesia adalah sebagai berikut: Mula-mula Ir. Djuanda diangkat oleh pemerintah RI sebagai Kepala Jawatan Kereta Api Republik Indonesia. Ini suatu tugas yang amat berat karena keadaan kereta api sejak jaman Jepang sudah amat kacau balau. Kereta Api sudah tidak terurus, baik lokomotif maupun gerbong-gerbong dan stasiun serta rel-relnya sudah rusak sekali. Apalagi sesudah Belanda mulai menduduki kembali Indonesia, maka terjadilah pengungsian yang luar biasa. Mereka menggunakan jasa kereta api untuk mengungsi. Demikian pula angkatan bersenjata dan laskar-laskar bergerak dengan menggunakan kereta api. Pekerjaan Ir. Djuanda menjadi makin berat. Selama memimpin Jawatan Kereta Api ini keluarga Ir. Djuanda menetap di Cisurupan, yang terletak antara Garut – Cikajang, sedangkan ia sendiri berada di Yogyakarta.
Pada bulan Maret 1946, Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Muda Perhubungan merangkap sebagai Kepala Jawatan Kereta Api.
Dalam Kabinet Syahril (1946). Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perhubungan. Tugasnya menyelenggarakan perhubungan setaraf dengan kereta api, hubungan pos, dan telegrap (PTT) dan kemudian juga memulai memikirkan hubungan pelayaran laut.
Pada masa Kabinet Amir Syaifuddin (1947) Ir. Djuanda tetap menjabat Menteri Perhubungan, bahkan pada kabinet Hatta, Ir Djuanda selain menjadi Menteri Perhubungan juga Menteri Pekerjaan Umum selama beberrapa bulan. Ir. Djuanda juga ditunjuk untuk duduk dalam perundingan dengan Belanda. la bertindak sebagai ketua Panitia Ekonomi/Keuangan dalam delegasi Indo­nesia. Pada masa itu ia sering mondar-mandir Yogyakarta – Kaliurang – Jakarta. Ir. Djuanda sebenarnya tidak berpartai. Ia bersikap non partai dan dengan teguh berdiri diluar semua partai dan mengabdi dengan seria kepada negara.
Ketika Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Ir. Djuanda berada di Istana Presiden di Yogyakarta. Ia tertangkap, tetapi kemudian dilepaskan kembali lalu pulang kerumahnya. Berkali-kali ramahnya didatangi tentara Belanda untuk menggeledahnya, tetapi Ir. Djuanda tetap tenang. Belanda juga datang dan membujuk beliau agar mau bekerja sama dan mengambil bagian dalam pemerintahan di Negara Pasundan, tetapi It. Djuanda menolak bujukan Belanda itu. Mungkin karena sikapnya itu sebuah granat pernah diletuskan di rumahnya, syukur tidak membawa bencana.
Sesudah pemerintah RI kembali ke Jakarta, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Negara. Beliau juga duduk sebagai Ketua Komisi Ekonomi dan Keuangan dalam Delegasi RI
pada perundingan KMB.
Sesudah RIS berdiri (1949), Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perekonomian dalam Kabinet Hatta. Ia harus berusaha memperbaiki perekonomian rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan, mengadakan persiapan untuk jamunan sosial dan penempatan kerja kembali dalam masyarakat. Juga mengadakan peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran rakyat seluruhnya. Bagi Ir. Djuanda urusan ekonomi rakyat merupakan hal yang baru dan dengan tekun ia mempelajari seluk-beluk ekonomi dan keuangan hingga memahami benar persoalannya.
Pada masa kabinet Moh. Natsir (1950), kembali Ir.Djuanda mamangku jabatan Menteri Perhubungan. Demikian juga pada kabinet Sukiman Suwiryo (1951) dan kabinet Wilopo (1952) Ir. Djuanda tetap memegang jabatan Menteri Perhubungan hingga tahun 1953. Pada masa Kabinet, Ali Sastroamijoyo I (1953) dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955) Ir. Djuanda tidak duduk dalam kabinet, selama tiga tahun. Ia muncul kembali sebagai Menteri Negara Urusan Perencanaan pada kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tahun 1957.
Selama tahun 1953 – 1956, Ir.Djuanda menjadi Direktur Biro Perancang Negara, yang menitikberatkan perencanaan pembangunan pertanian, irigasi, jalan, pelabuhan dan infra stuktur lainnya. Dalam pekerjaan Biro Perancang Negara ini telah diikutsertakan dua tokoh muda yaitu Wijoyo Nitisastro dan Emil Salim, kedua-duanya mahasiswa Universitas Indonesia, yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh perancang pembangunan pada masa Orde Baru.
Pada tahun 1957, Ir. Djuanda ditunjuk menjadi Perdana Menteri, Beliau dibantu oleh tiga orang Wakil’Perdana Menteri, yaitu Mr. Hardi (PNI), Haji Idham Chalid (NU), dan dr. J. Leimena (Parkindo), Tugas P.M. Ir Djuanda sungguh amat berat karena pada zaman itu, keadaan bangsa dan negara dalam keadaan berbahaya dan terancam perpecahan. P.M. Djuanda berhasil menyelenggarakan musyawarah Nasional yang berusaha menyatukan kembali Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. P.M. Djuanda mengucap pidato sebagai berikut, ”Betapa penting Musyawarah Nasional diadakan pada waktu ini, mengingat kepentingan Negara dan Bangsa yang sudah sangat mendesak karena terjadinya tindakan-tindakan simpang siur yang amat mempengaruhi masyarakat dan negara kita, dan menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kejadian-kejadian yang tidak nor­mal di negara kita akhir-akhir ini perlu segera dipecahkan dan dicarikan jalan penyelesaiannya sehingga keadaan Republik Indonesia normal kembali.
Dalam hal ini pemerintah berkeyakinan bahwa dengan Musyawarah Nasional ini kita akan dapat membuka jalan guna mengatasi persoalan-persoalan dan kesukaran-kesukaran karena para peserta ikhlas datang ke tempat musyawarah untuk sama-sama menghadapi dan menyelesaikan bahaya yang mengancam kita bersama di mana akan tidak terjadi pendiktean oleh suatu pihak terhadap yang lainnya, tidak terdapat curiga-mencurigai satu sama lain dan tidak akan saling tuduh menuduh siapa yang bersalah.
Musyawarah Nasional adalah gelanggang persaudaraan serta keutuhan dan diatas semuanya ini Proklamasi 17 Agustus 1945”. Musyawarah Nasional ini telah berhasil melahirkan suatu Pernyataan Bersama antara Ir. Soekarno dengan Dr. Mohammad Hatta. Dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional itu, P.M. Djuanda berkata
: ”Marilah kita waspada, keadaan buruk di dalam negara kita merupakan tanah yang subur bagi anasir-anasir yang ingin melihat hancurnya Republik Indonesia Proklamasi 1945. Marilah kita mengadakan Zelfcorrectie, memeriksa diri pribadi, apakah kita sungguh selaras dengan dasar-dasar Proklamasi 17 Agustus 1945. Marilah kita jauhkan diri dari prasangka, tuduh menuduh dan curiga mencurigai. Marilah kita resapkan rasa sebangsa, setanah air, utuh dan bersatu dalam suka dan duka. Marilah kita songsong Indonesia Jaya dengan rasa cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan”.
Walaupun PM. Djuanda sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, namun terjadi juga gerakan separatisme. Sungguh berat tanggung jawab PM. Djuanda tetapi tindakan harus diambil untuk menyelamatkan bangsa dan negara. PM .Djuanda yang juga Menteri Pertahanan tidak hanya berhadapan dengan kekuatan dan gerakan separatisme di daerah, tetapi juga harus mengatasi gerombolan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan tempat-tempat lain.
PM. Djuanda berhasil menyusun organisasi Departemen Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara. Juga DPR menyelesaikan Undang-undang Wajib Militer, Undang-Undang Sukarelawan dan Undang-Undang Veteran Perjuangan RI.
Salah satu hasil lainnya dari P.M. Djuanda yang gemilang ialah dicetuskannya Dekiarasi Juanda Pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut menentukan Wilayah Perairan Republik Indonesia, yaitu bahwa bagian-bagian laut yang terletak disekitar dan diantara pulau-pulau Indonesia yang dahulunya berstatus laut bebas, kini menjadi Laut Nasional.
Ujian berat juga dihadapi P.M.Djuanda dengan adanya pertentangan politik dan idiologi di dalam konstituante, sehingga akhirnya P.M. Djuanda merintis jalan penyelesaian dengan cara kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Pada tanggal 6 Mi 1959 sesudah Dekrit Presiden, maka P.M. Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden.

Dalam Kabinet Karya I, Ir. Djuanda ditunjuk sebagai menteri Pertama merangkap Menteri Keuangan. Apabila Presiden Sukarno bepergian ke luar negeri, maka Ir. Djuanda menjadi pejabat Presiden RI. Zaman Demokrasi terpimpin (1959 -1965) yang penuh dengan ketegangan dan perbenturan, sungguh merupakan zaman berat bagi Menteri Juanda, tetapi bagaimanapun ia selalu berpendirian sebagai berikut ”Ketahuilah, bahwa semua perbedaan itu akan dapat kita selesaikan dengan baik asal kita semua tetap mengutamakan keselamatan negara dan persatuan nasional diatas segala kepentingan. Empat tahun lamanya Ir. Djuanda menyertai Kabinet Kerja sebagai orang kedua dalam pemerintahan. Dalam Kabinet Kerja II dan III, Ir. Djuanda tetap menduduki Menteri Pertama dengan Wakil Menteri Pertama dr. J. Leimena dan dr. Subandrio. Sementara itu dikalangan pemerintah terjadi pertentangan dan ketegangan.
 Ir. Djuanda bukanlah orang partai, secara pribadi ia anti komunisme. Mengadu domba partai atau mengadu-adukan partai bukan sifat dan wataknya. Terhadap yang bersalah Ir. Djuanda akan bertindak. Situasi politik dan terutama tindakan-tindakan Presiden Soekarno yang diambil pada zaman Demokrasi Terpimpin menyebabkan Ir. Djuanda sering mengalami pertentangan batin. Keadaan demikian ditambah banyaknya keruwetan dalam pekerjaan, menyebabkan Ir. Djuanda menjadi sering sakit. Beliau diharuskan berobat ke Tokyo karena jantungnya terganggu.
Penyakitnya makin lama makin parah, tetapi beliau masih tetap bertugas sebagaimana biasanya.
Pada tanggal 7 November 1963, Ir. Haji Djuanda berpulang kerahmatullah, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pemerintah RI dengan SK Presiden No. 244 tahun 1963 tanggal 29 November 1963, mengangkat Ir. Djuanda Kartawijaya sebagai Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional.


Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya memperjuangkan pembangunnan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Bahkan namanya cukup banyak diabadikan sebagai nama jalan di beberapa provinsi di Indonesia.



Sumber-Sumber :