Ir. H. Juanda
Ir.R. Djoeanda Kartawidjaja atau lebih
dikenal dengan nama Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911,
merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya
seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS).
Sejak kecil Djuanda
mempunyai sifat pendiam, tetapi cerdas. kedudukan ayahnya sebagai guru HIS
membuka jalan bagi Djuanda untuk memasuki Sekolah Dasar Belanda Europeesche
Lagere School di Cicalengka. Kecerdasan Djuanda dibuktikan ketika ia dinaikkan
dua kelas, dari kelas V langsung ke kelas VII. Djuanda memang seorang yang
rajin, tekun, cerdas, teliti dan cermat. Ia suka sekali membaca buku.
Pada tahun 1924, Djuanda
sudah tamat ELS dan meneruskan ke HBS ( Hogere Burger School) di Bandung.
Kebanyakan murid HBS adalah anak Belanda, tetapi Djuanda tetap menjadi anak
yang pandai, terutama pada mata pelajaran ilmu pasti dan ilmu alam. Selama tiga
tahun di HBS, yaitu dari kelas I hingga kelas II, Djuanda pulang pergi ke
sekolah dengan menggunakan kereta api. Ia harus berangkat di waktu subuh dan
pulang sesudah Asar. Pada kelas IV Juanda mulai tinggal di Bandung, masuk
asrama supaya lebih mahir dalam berbahasa Belanda, Inggris, Jerman dan
Perancis. Karena kepandaiannya, maka Djuanda dapat lulus ujian penghabisan HBS
pada tahun 1929 dengan nilai yang amat bagus dan lulus dengan gemilang
(schitterend geslaagd). Dengan nilai sebagus itu Juanda langsung diterima
sebagai mahasiswa pada Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan
memperoleh beasiswa.
Sejak muda Djuanda memang
amat gemar membaca, karena itu sejak muda pula ia sudah memakai kacamata. Ia
pun menyukai olah raga, terutama berenang dan polo air. Sebagai pencinta alam
ia sering mendaki gunung dengan menyandang sebuah alat pemotret merek Rolefex. Djuanda memasuki Fakultas Ilmu Teknologi yang
mempelajari tehnik pengairan dan jalan (Wegen en Waterbouwkunde). Angkatannya sebanyak 39 orang mahasiswa
tediri dari 18 mahasiswa Indonesia, 2 keturunan Cina dan 19 orang Belanda.
Djuanda senantiasa belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak banyak
membuang-buang waktu. Ia hanya kadang-kadang menonton bioskop dikelas kambing.
Sebagai mahasiswa, ia
memasuki organisasi Indonesische Studenten Vereeninging (Perkumpulan Mahasiswa
Indonesia) Perkumpulan yang bersifat kebarat-baratan. Pada mulanya Djuanda
memang belum tertarik pada perjuangan politik, walaupun ia sudah setia membaca
mingguan berkala Sipatahunan yang bahasa Sunda dengan artikel-artikel yang
bercorak kebangsaan. Makin lama makin tertarik pada kehidupan kemasyarakatan
dan politik, lebih-lebih berkali-kali mendengar ceramah Ir. Sukarno di Bandung.
Akhirnya Menjadi Ketua dari Perhimpunan Mahasiswa Indonesia pada tahun ke-3
dengan Gunarso sebagai sekretaris. Pada tahun
1933 Djuanda lulus dari THS dan sesudah tamat dari THS, Djuanda menikah dengan
gadis Julia Virzsia, seorang guru muda Taman Kanak-Kanak yang berada dibawah ayahnya.
Djuanda diangkat sebagai
guru pada SMA (Algemene Middbare School) dan Sekolah Guru (Kweekschool) yang
dikelola oleh Muhammadiyah di Jakarta. Setahun kemudian Djuanda bahkan menjadi
Direktur SMA Muhammadiyah, padahal ia baru berumur 23 tahun. Djuanda dipandang sebagai seorang
pemimpin yang bersikap
tenang, ramah, tidak mudah marah dan selalu seimbang jiwanya. Siswa-siswanya
memandang Pak Djuanda sebagai seorang Direktur yang lemah-lembut, simpatik dan
disegani. Direktur ini selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan para
siswanya sehingga tidak kalah dari mutu sekolah SMA Pemerintah Belanda. Ir. Juanda juga
menerjuni politik dalam Budi Utomo.
Ia menyokong Taman Siswa di Pasundan dalam menentang wilde Scholen
Ordonnantie atau undang-undang sekolah liar. Djuanda menjadi Direktur SMA
Muhammadiyah selama
lima tahun.
Pada tahun 1936 ia diterima
sebagai insinyur Pada Jabatan Pengairan Propinsi Jawa Barat termasuk Departemen
Pekerjaan Umum itu Jakarta. Selanjutnya Jawatan tersebut pindah ke Bandung berpusat
di Gedung waktu
pasukan Jepang memasuki Indonesia. Di zaman Jepang ia bekerja pada Jawatan
Pekerjaan Umum. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan pada zaman itu, ia hanya bertugas merencanakan
pembangunan jembatan sungai Citarum di Kec.Junggede yang telah dibumi
hanguskan oleh Bclanda. Jembatan tersebut dari konstruksi kayu dan mempunyai
daya dukung truk berukuran 5 ton. Sehingga tahun 1958 jembatan tersebut masih
berfungsi.
Perhatian Ir. Djuanda
terhadap pada soal-soal kemasyarakatan bangsanya makin meningkat. la lebih
condong pada aliran evolusioner yaitu maju berkembang setapak demi setapak, dengan pasti dan mantap. Pada tahun 1934, selagi ia menjabat Direktur SMA (AMS)
Muhammadiyah atas pengarahan Otto Iskandardinata, ia memasuki Paguyuban Pasundan.
Pada waktu itu gerakan Paguyuban Pasundan sudah meluas, mempunyai 52 cabang
dengan 3217 angota, ditambah anak organisasinya seperti Pasundan Istri,
Patvinders Organisatie Pasundan (Kepanduan). Yayasan Obor Pasundan (JOP) dengan
sekolah-sekolah Pasundan yang bertebaran di pelosok Jawa Barat, Bale Ekonomi
Pasundan dan sebagainya. Masuknya Ir. Djuanda ke Paguyuban Pasundan, merupakan
sumbangan yang besar, karena Djuanda merupakan cendekiawan yang alim, cerdas,
berbudi luhur dan terkenal. Ir. Djuanda
seringkali mengemukakan pendapatnya yang bersifat membangun. Antara lain ia
pernah berkata, “Suatu tindakan yang bijaksana, bahwa pemerintah memberikan
jabatan pimpinan kepada akademis Indonesia. Bahwa
Pasundan mempunyai perhatian besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran
bagi bangsa Indonesia, dapatlah diketahui dari tujuan yang dicita-cita oleh
pendirinya, yaitu : Mengangkat bahasa Indonesia kesuatu tingkat politik,
ekonomi dan sosial yang lebih tinggi agar menjadi suatu bangsa yang terhormat
diantara bangsa-bangsa yang telah dewasa dan merdeka”. Ir. Djuanda yakin, bahwa tujuan akhir perjuangan bangsa Indonesia ialah Kemerdekaan. Dengan sengaja ia mengemukakan pendapat Gijsbert Karel Van Hoogendorp, seorang pejuang kemerdekaan bangsa Belanda
yang berkata, “Usaha untuk mengembangkan tanah jajahan, ya, saya mengakuinya,
adalah usaha untuk mengembangkan detik kemerdekaannya “ Ir. Djuanda sendiri
berkata. “Sebagian lagi dapat diterangkan dari kenyataan bahwa dalam seperempat
abad ini Pasundan telah melaksanakan garis-garis kebijaksanannya dan hal itu
selalu memperkuat keyakinan kita, bahwa masyarakat Indonesia yang berkembang
secara perlahan-lahan lebih memberi jaminan akan tercapainya hasil yang nyata
dan tetap.”
Mengenai ekonomi Ir. Djuanda
mengatakan, “Susunan masyarakat disini membatasi daya serap terhadap para
akademisi. Ini sangat terasa didalam lingkungan masyarakat Indonesia sendiri.
Scsuatu golongan menengah yang berdiri sendiri, sebagai suatu syarat utama bagi
perkembangan perusahaan yang sehat dan yang bisa menumbuhkan dan mengasuh
perindustrian dan tehnik, tidak ada sama sekali. Kesempatan untuk menduduki
suatu jabatan yang bertanggungjawab didalam perusahaan swasta di kemudian hari,
sangat terbatas bagi para akademis Indonesia berlainan sekali dengan koleganya
di lain negara.
Setelah Indonesia merdeka
Ir. Djuanda memperoleh kepercayaan Presiden dan kembali duduk dalam kabinet
sehingga disebut “Menteri Marathon” dalam 17 kabinet dalam tahun 1945. la duduk
sebagai Menteri Muda satu kali, dan empat belas kali menjadi Menteri serta tiga
kali menjadi Menteri Pertama.Ir. Djuanda memulai kariernya sebagai menteri muda
dalam Kabinet Sjzhrir II, tahun 1946.
Kegiatan Ir. Juanda pada
masa awal berdirinya Republik Indonesia adalah sebagai berikut: Mula-mula Ir.
Djuanda diangkat oleh pemerintah RI sebagai Kepala Jawatan Kereta Api Republik
Indonesia. Ini suatu tugas yang amat berat karena keadaan kereta api sejak
jaman Jepang sudah amat kacau balau. Kereta Api sudah tidak terurus, baik
lokomotif maupun gerbong-gerbong dan stasiun serta rel-relnya sudah rusak
sekali. Apalagi
sesudah Belanda mulai menduduki kembali Indonesia, maka terjadilah pengungsian
yang luar biasa. Mereka menggunakan jasa kereta api untuk mengungsi. Demikian
pula angkatan bersenjata dan laskar-laskar bergerak dengan menggunakan kereta
api. Pekerjaan Ir. Djuanda menjadi makin berat. Selama memimpin Jawatan Kereta
Api ini keluarga Ir. Djuanda menetap di Cisurupan, yang terletak antara Garut –
Cikajang, sedangkan ia sendiri berada di Yogyakarta.
Pada bulan Maret 1946, Ir.
Djuanda diangkat menjadi Menteri Muda Perhubungan merangkap sebagai Kepala
Jawatan Kereta Api.
Dalam Kabinet Syahril (1946). Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri
Perhubungan. Tugasnya menyelenggarakan perhubungan setaraf dengan kereta api,
hubungan pos, dan telegrap (PTT) dan kemudian juga memulai memikirkan hubungan
pelayaran laut.
Pada masa Kabinet Amir
Syaifuddin (1947) Ir. Djuanda tetap menjabat Menteri Perhubungan, bahkan pada
kabinet Hatta, Ir Djuanda selain menjadi Menteri Perhubungan juga Menteri
Pekerjaan Umum selama beberrapa bulan. Ir. Djuanda juga ditunjuk untuk duduk
dalam perundingan dengan Belanda. la bertindak sebagai ketua Panitia
Ekonomi/Keuangan dalam delegasi Indonesia. Pada masa itu ia sering mondar-mandir
Yogyakarta – Kaliurang – Jakarta. Ir. Djuanda sebenarnya tidak berpartai. Ia
bersikap non partai dan dengan teguh berdiri diluar semua partai dan mengabdi
dengan seria kepada negara.
Ketika Belanda melakukan
Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Ir. Djuanda berada di Istana Presiden
di Yogyakarta. Ia tertangkap, tetapi kemudian dilepaskan kembali lalu pulang
kerumahnya. Berkali-kali
ramahnya didatangi tentara Belanda untuk menggeledahnya, tetapi Ir. Djuanda
tetap tenang. Belanda juga datang dan membujuk beliau agar mau bekerja sama dan
mengambil bagian dalam pemerintahan di Negara Pasundan, tetapi It. Djuanda
menolak bujukan Belanda itu. Mungkin karena sikapnya itu sebuah granat pernah
diletuskan di rumahnya, syukur tidak membawa bencana.
Sesudah pemerintah RI
kembali ke Jakarta, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Negara. Beliau juga
duduk sebagai Ketua Komisi Ekonomi dan Keuangan dalam Delegasi RI
pada perundingan KMB.
Sesudah RIS berdiri (1949),
Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perekonomian dalam Kabinet Hatta. Ia harus
berusaha memperbaiki perekonomian rakyat, keadaan keuangan, perhubungan,
perumahan dan kesehatan, mengadakan persiapan untuk jamunan sosial dan
penempatan kerja kembali dalam masyarakat. Juga mengadakan peraturan tentang upah
minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran
rakyat seluruhnya. Bagi Ir.
Djuanda urusan ekonomi rakyat merupakan hal yang baru dan dengan tekun ia
mempelajari seluk-beluk ekonomi dan keuangan hingga memahami benar persoalannya.
Pada masa kabinet Moh.
Natsir (1950), kembali Ir.Djuanda mamangku jabatan Menteri Perhubungan.
Demikian juga pada kabinet Sukiman Suwiryo (1951) dan kabinet Wilopo (1952) Ir.
Djuanda tetap memegang jabatan Menteri Perhubungan hingga tahun 1953. Pada masa
Kabinet, Ali Sastroamijoyo I (1953) dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955) Ir.
Djuanda tidak duduk dalam kabinet, selama tiga tahun. Ia muncul kembali sebagai
Menteri Negara Urusan Perencanaan pada kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tahun
1957.
Selama tahun 1953 – 1956,
Ir.Djuanda menjadi Direktur Biro Perancang Negara, yang menitikberatkan
perencanaan pembangunan pertanian, irigasi, jalan, pelabuhan dan infra stuktur
lainnya. Dalam pekerjaan Biro Perancang Negara ini telah diikutsertakan dua
tokoh muda yaitu Wijoyo Nitisastro dan Emil Salim, kedua-duanya mahasiswa
Universitas Indonesia, yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh perancang
pembangunan pada masa Orde Baru.
Pada tahun 1957, Ir. Djuanda
ditunjuk menjadi Perdana Menteri, Beliau dibantu oleh tiga orang Wakil’Perdana
Menteri, yaitu Mr. Hardi (PNI), Haji Idham Chalid (NU), dan dr. J. Leimena
(Parkindo), Tugas P.M. Ir Djuanda sungguh amat berat karena pada zaman itu,
keadaan bangsa dan negara dalam keadaan berbahaya dan terancam perpecahan. P.M.
Djuanda berhasil menyelenggarakan musyawarah Nasional yang berusaha menyatukan
kembali Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. P.M. Djuanda mengucap pidato sebagai
berikut, ”Betapa
penting Musyawarah Nasional diadakan pada waktu ini, mengingat kepentingan
Negara dan Bangsa yang sudah sangat mendesak karena terjadinya
tindakan-tindakan simpang siur yang amat mempengaruhi masyarakat dan negara
kita, dan menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kejadian-kejadian
yang tidak normal di negara kita akhir-akhir ini perlu segera dipecahkan dan
dicarikan jalan penyelesaiannya sehingga keadaan Republik Indonesia normal
kembali.
Dalam hal ini pemerintah
berkeyakinan bahwa dengan Musyawarah Nasional ini kita akan dapat membuka jalan
guna mengatasi persoalan-persoalan dan kesukaran-kesukaran karena para peserta
ikhlas datang ke tempat musyawarah untuk sama-sama menghadapi dan menyelesaikan
bahaya yang mengancam kita bersama di mana akan tidak terjadi pendiktean oleh
suatu pihak terhadap yang lainnya, tidak terdapat curiga-mencurigai satu sama
lain dan tidak akan saling tuduh menuduh siapa yang bersalah.
Musyawarah Nasional adalah gelanggang persaudaraan serta keutuhan dan
diatas semuanya ini Proklamasi 17 Agustus 1945”. Musyawarah Nasional ini telah
berhasil melahirkan suatu Pernyataan Bersama antara Ir. Soekarno dengan Dr.
Mohammad Hatta. Dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional itu, P.M. Djuanda
berkata : ”Marilah
kita waspada, keadaan buruk di dalam negara kita merupakan tanah yang subur
bagi anasir-anasir yang ingin melihat hancurnya Republik Indonesia Proklamasi
1945. Marilah kita mengadakan Zelfcorrectie, memeriksa diri pribadi, apakah
kita sungguh selaras dengan dasar-dasar Proklamasi 17 Agustus 1945. Marilah
kita jauhkan
diri dari prasangka, tuduh menuduh dan curiga mencurigai. Marilah kita resapkan
rasa sebangsa, setanah air, utuh dan bersatu dalam suka dan duka. Marilah kita
songsong Indonesia Jaya dengan rasa cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan”.
Walaupun PM. Djuanda sudah
berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, namun terjadi
juga gerakan separatisme. Sungguh berat tanggung jawab PM. Djuanda tetapi tindakan harus
diambil untuk menyelamatkan bangsa dan negara. PM .Djuanda yang juga Menteri Pertahanan tidak hanya
berhadapan dengan kekuatan dan gerakan separatisme di daerah, tetapi juga harus
mengatasi gerombolan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan tempat-tempat lain.
PM. Djuanda berhasil
menyusun organisasi Departemen Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan
Udara. Juga DPR menyelesaikan Undang-undang
Wajib Militer, Undang-Undang Sukarelawan dan Undang-Undang Veteran Perjuangan
RI.
Salah satu hasil lainnya dari P.M. Djuanda yang gemilang ialah
dicetuskannya Dekiarasi Juanda Pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi
tersebut menentukan Wilayah Perairan Republik Indonesia, yaitu bahwa
bagian-bagian laut yang terletak disekitar dan diantara pulau-pulau Indonesia
yang dahulunya berstatus laut bebas, kini menjadi Laut Nasional.
Ujian berat juga dihadapi
P.M.Djuanda dengan adanya pertentangan politik dan idiologi di dalam
konstituante, sehingga akhirnya P.M. Djuanda merintis jalan penyelesaian dengan
cara kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Pada tanggal 6 Mi 1959 sesudah Dekrit
Presiden, maka P.M. Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden.
Dalam Kabinet Karya I, Ir.
Djuanda ditunjuk sebagai menteri Pertama merangkap Menteri Keuangan. Apabila
Presiden Sukarno bepergian ke luar negeri, maka Ir. Djuanda menjadi pejabat
Presiden RI. Zaman
Demokrasi terpimpin (1959 -1965) yang penuh dengan ketegangan dan perbenturan,
sungguh merupakan zaman berat bagi Menteri Juanda, tetapi bagaimanapun ia
selalu berpendirian sebagai berikut ”Ketahuilah, bahwa semua perbedaan itu akan
dapat kita selesaikan dengan baik asal kita semua tetap mengutamakan keselamatan
negara dan persatuan nasional diatas segala kepentingan. Empat tahun lamanya Ir. Djuanda menyertai Kabinet
Kerja sebagai orang kedua dalam pemerintahan. Dalam Kabinet Kerja II dan III,
Ir. Djuanda tetap menduduki Menteri Pertama dengan Wakil Menteri Pertama dr. J.
Leimena dan dr. Subandrio. Sementara
itu dikalangan pemerintah terjadi pertentangan dan ketegangan.
Ir. Djuanda bukanlah orang partai, secara pribadi ia anti komunisme. Mengadu
domba partai atau mengadu-adukan partai bukan sifat dan wataknya. Terhadap yang
bersalah Ir. Djuanda akan bertindak. Situasi
politik dan terutama tindakan-tindakan Presiden Soekarno yang diambil pada
zaman Demokrasi Terpimpin menyebabkan Ir. Djuanda sering mengalami pertentangan
batin. Keadaan demikian ditambah banyaknya keruwetan dalam pekerjaan,
menyebabkan Ir. Djuanda menjadi sering sakit. Beliau diharuskan berobat ke
Tokyo karena jantungnya terganggu.
Penyakitnya makin lama makin parah, tetapi beliau masih tetap bertugas
sebagaimana biasanya.
Pada tanggal 7 November 1963,
Ir. Haji Djuanda berpulang
kerahmatullah, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pemerintah RI dengan SK Presiden No. 244 tahun 1963 tanggal 29 November
1963, mengangkat Ir. Djuanda Kartawijaya sebagai Tokoh Nasional/Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur
yaitu Bandara Djuanda atas jasanya memperjuangkan pembangunnan lapangan terbang
tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan
raya di bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat
museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Bahkan namanya cukup banyak diabadikan
sebagai nama jalan di beberapa provinsi di Indonesia.
Sumber-Sumber :